Archive for November 2013

Kacamata, Saya, & Adik Sales


Saya pernah kesurupan. Siang-siang pergi ke optik. Kemudian membeli sebuah kacamata original dengan harga yang mahal. Tanpa tawar. Tanpa basa-basi. Dan yang membuat ini semakin gila adalah mata saya sedang tidak bermasalah sama sekali. Lalu buat apa saya beli kacamata?

Kawan-kawan saya pun tidak habis pikir. Ketimbang kacamata dengan lensa normal yang tidak begitu banyak manfaatnya, saya lebih baik membeli sunglasses saja, begitu keluh mereka. Toh uangnya cukup. Minimal walau tidak saban kali saya perlukan, suatu hari nanti pasti bisa digunakan. Apakah semua ini hanya untuk bergaya?

Saya seperti kehilangan logika dan kecerdasan. Mungkin karena kepala saya baru dicukur botak. Entahlah. Tapi di luar itu, saya merasa semua terjadi karena saya kena ‘sihir’. Customer service di optik itu ramah sekali. Bicaranya sopan. Tindakannya perhatian. Wajahnya sedap dipandang. Aih, siapa yang bisa menolak untuk membeli?

Walau kemudian ketika pulang dari optik itu, saya berbaring di ranjang dan berpikir: ya memang wajar perempuan itu demikian. Bukankah ia seorang sales yang bertugas membuat barang dagangan laku? Jadi sudah semestinya dia bersikap ‘manis’.

Halah. Apapun itu, tanpa sadar saya sudah terpesona.

Esensi

Namun tentu saja dalam tulisan kali ini, saya tidak akan berpanjang-panjang tentang si sales manis tadi. Toh saya hanya berjumpa dengannya sebanyak dua kali dan hubungan kami hanya berhenti di status “penjual dan pembeli”. Peristiwa konyol itu hanya membuat saya terpikir tentang “esensi”. Kenapa kita melakukan sesuatu? Kenapa kita membeli smartphone yang mahacanggih jika keperluan kita hanya menelepon, mengirim pesan, dan online FB? Kenapa kita membeli sepeda motor baru jika yang lama mesinnya masih bagus dan bodinya mulus? Kenapa membeli jam tangan baru jika waktu akan terus berputar dalam hitungan angka yang sama? Dan bermacam-ragam pertanyaan “kenapa” lain. Intinya, khusus persoalan membeli, apa yang menjadi hakikat bagi kita untuk melakukannya? Kebutuhan, keinginan, tren, atau ada alasan yang lain?

Bagi saya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah satu kata: cukup.

“Cukup” artinya tidak kurang, tidak pula lebih. Pas. Cukup juga bermakna apa kita butuhkan ada. Bisa diperoleh atau telah kita miliki. Cukup itu bukan lapar tapi kenyang, walau bukan kekenyangan. Cukup itu memenuhi kebutuhan. Bermakna bahwa ketika ia ada, benda-benda lain hanya berfungsi untuk mengisi fungsi yang sama. Mirip seperti Whatsapp dan BBM. Dua-duanya berfungsi sebagai media chat. Jika saya dan seorang teman sama-sama memiliki salah satunya, kami tidak perlu meng-install dua-duanya. Mubazir.

Oleh karena itu, mulai saat ini, ada baiknya kita merenung tentang apa yang kita butuhkan dan kita miliki. Bisa jadi kehidupan kita sebenarnya sudah begitu sempurna dengan segala kecukupan yang ada. Jangan sampai kita menjadi susah gara-gara sibuk mencari hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Dan sekarang, jika tempo hari saya (yang kesurupan) pergi ke optik untuk membeli kacamata, maka hari ini saya (yang penuh kesadaran) akan ke sana untuk melakukan sesuatu yang memang saya butuhkan: berkenalan dengan si sales manis*.

*mimpi.

Thursday, November 7, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 16 comments

Menghilang


Ada saat-saat ketika saya tidak mengerti tentang hidup. Jenuh dengan keseharian. Dan terlalu kacau ketika berusaha menjawab itu semua. Saat itu, saya memilih untuk menghilang. Tidak benar-benar menghilang dari bumi tentu saja. Tapi dengan mematikan segala alat komunikasi, mungkin saya telah melakukan seperempatnya.

Dari dulu itu treatment saya. Saya percaya ketika menyendiri, ada jawaban yang saya dapatkan. Walau ngerinya terkadang itu tidak selalu berlangsung dalam satu-dua hari. Terkadang mingguan atau bulanan. Hingga teman-teman bertanya  ke mana saja saya dan orang rumah heran kenapa saya tidak ke mana-mana. Saya memang hanya di kamar saja.

Keramaian memang sering membuat saya pusing. Saya memang cenderung menghindari kegiatan yang melibatkan banyak orang. Jikapun ada kegiatan seperti itu, saya memilih untuk melakukannya tidak dengan orang banyak. Maka jika saya ada di tempat orang ramai, hampir dapat dipastikan itu karena sedikit ‘terpaksa’ atau memang saya secara moral diharuskan hadir. Itu saat kondisi stabil – apalagi ketika suasana sedang kacau.

Lalu apa yang saya lakukan di kala sendiri? Jika kondisinya sedang ‘parah’, maka saya lebih banyak merenung. Orang-orang bilang ini tidak sehat. Tapi herannya saya seringkali sembuh walau tidak dengan waktu yang cepat. Mirip seperti orang yang khawatir ketika melihat temannya berobat ke dukun patah lalu terheran-heran menyaksikannya sembuh. Namun atas perhatiannya, tentu saya harus mengucapkan grazie.

Saya juga merasa jika saya tidak duduk berjam-jam di depan laptop, di dalam kamar saya yang penuh tulisan entah-apa-apa, saya tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan. Entah itu cerpen saya atau terjemahan dokumen orang lain. Saya harus duduk di kamar. Tidak di kedai kopi. Itu terlalu berisik. Ditambah dengan segala macam jenis lalu-lalang orang. Itu sungguh tidak membantu.

Selain itu, salah satu surga ketika ‘menghilang’ adalah membaca. Membaca adalah sebuah perjalanan fiksi. Kita merasa di sebuah tempat walau tidak benar-benar di sana. Bukan sebuah hal yang sempurna memang. Tapi untuk seorang “saya” yang masih belum mampu untuk terlalu sering jalan-jalan, apa lagi yang lebih sempurna daripada itu?

Introvert? Saya rasa. Total demikian? Tidak juga.

Monday, November 4, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 12 comments

Aceh dan Lahirnya Komunitas


Salah satu pertanyaan yang terkadang sulit saya jawab adalah “kamu orang mana?”  Tentu saya orang Indonesia. Itu tercetak di KTP. Maksud saya, terkadang di Aceh orang-orang merasa perlu tahu tepatnya-Aceh-apa.  Saya lahir di Aceh Tamiang. Tidak sampai hitungan bulan, keluarga kami pindah ke Banda Aceh. Beberapa tahun kemudian, kami membeli tanah di Lamreung, dan itu Aceh Besar.

Sekarang sudah sepuluh tahun lebih saya tinggal di Lamreung. Hasilnya, logat bahasa Aceh saya ‘Aceh Rayeuk’ sekali. Huruf “R” meluncur dari mulut tanpa menggetarkan lidah – mirip pelafalan dalam bahasa Inggris atau Prancis. Huruf “S” pun berwujud tsa dalam bahasa Arab. Ditambah lagi volume bicara yang besar. Seperti marah-marah padahal sedang bercanda. Lucunya kalau ketemu sesama teman dari Aceh Besar, bisa-bisa teman dari Aceh bagian lain tidak begitu paham kami sedang bicara apa. Meudok that! 

Komunitas

Lalu setelah sekian lama tinggal di Aceh, apa sih yang saya rasakan? Banyak!! Terlalu banyak sampai saking banyaknya saya hampir tidak menyelesaikan postingan ini karena begitu asyik hapus-tulis-hapus-tulis.

Jadi pada tulisan singkat kali ini, saya sedikit ingin mengobrol tentang tentang sebuah hal positif yang sedang happening di Aceh: kelahiran komunitas-komunitas.

Tanpa disadari, rupanya banyak sekali komunitas yang sudah lahir di Aceh. Sebagian dari mereka sedang berkembang dan sebagian lainnya sudah bisa berdiri secara stabil. Bidang-bidangnya pun tidak terbatas. Mulai dari yang sifatnya pendidikan, bisnis, ketrampilan, lingkungan, seni, hobi, semuanya ada. Hal tersebut pun terasa semakin lengkap dengan prestasi-prestasi yang semakin sering didapat oleh anak-anak Aceh dalam berbagai event, nasional dan internasional. Dua hal itu seakan menjawab pertanyaan: “Adakah manfaat dari lahirnya begitu banyak komunitas?”jawabannya, “Ada. Prestasi.” Selain itu, tentu masih banyak lagi manfaat tidak kasat mata yang hadir dari lahirnya komunitas-komunitas.

Oleh karenanya, tidak salah jika kita bilang bahwa Aceh sedang menata diri – dan ia memang sudah semakin cantik sekarang.

Masa Depan

Semua tentu berharap pergerakan-pergerakan tadi menemukan tujuannya di masa depan. Kawan-kawan yang bergiat di bidang pendidikan berharap semua anak di Aceh bisa mendapatkan fasilitas belajar secara layak. Mereka yang berkecimpung di bidang bisnis juga berharap agar pengusaha-pengusaha baru terus tumbuh di Aceh. Para pecinta alam tentunya juga memiliki impian agar suatu hari nanti masyarakat Aceh semakin cerdas dan bijak dalam memperlakukan lingkungan. Semuanya sedang berusaha untuk itu.
Yang membuat semua hal menjadi mungkin dan semakin penuh harapan adalah karena pergerakan ini kebanyakan dimotori oleh generasi muda – yang suatu hari akan tumbuh dewasa dan duduk di puncak kekuasaan. Kita semua berharap bahwa ide, pikiran, dan niat mereka yang masih fresh dan cenderung bebas dari intrik politik, nanti juga akan terbawa sampai pada masanya mereka menjadi pemimpin.

Kawal

“Bangsa lain bisa sukses karena mereka berusaha membantu warganya agar berhasil. Sementara bangsa kita terpuruk karena terus berusaha menjerumuskan masyarakatnya agar gagal.”

Saya lupa siapa yang mengatakan ini, tapi memang jika direnungkan ada benarnya.

Dan sekarang, jika memang komunitas-komunitas tadi membawa perkembangan yang baik untuk Aceh, adakah alasan bagi kita untuk tidak mendukung mereka?

Jangan sampai kita justru menggagalkan apa yang sedang dibangun oleh saudara kita sendiri. Jangan sampai.


sumber gambar: home.iae.nl

Friday, November 1, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments