Desember untuk Yu


Yu sudah tiba di Queen Victoria Market (QVM) sekitar pukul 10.00 pagi. Hira dan Zati masih dalam perjalanan dari Burwood. Sementara saya harus meminta maaf dua kali karena kelamaan mencuci pakaian (sehingga terlambat berangkat) dan setelah sampai di Stasiun Clayton rupanya rel sedang mengalami perbaikan. Saya pun harus menumpang bus ke Caulfied dan menyambung lagi dengan kereta tujuan kota.

Matahari musim semi sedang bagus hari itu. Banyak orang memakai kaos. Setelah sekian bulan berkutat dengan dingin, orang-orang sepertinya merindukan kehangatan. Jam hampir menunjukkan pukul 11.00 ketika kereta yang saya tumpangi tiba di Stasiun Melbourne Central. Saya memutuskan jalan kaki ke QVM yang jaraknya tidak sampai satu kilometer.

Setelah celingukan beberapa saat, saya melihat Yu duduk di sebuah bangku baja dekat jalan masuk pasar. Ia membaca buku dan mendengar musik. Entah lagu apa. Saya pun segera berjalan menghampirinya. Aroma kopi dan roti mulai menggoda hidung.

Beberapa hari yang lalu, Yu mengirimkan pesan singkat. Ia bertanya, kapan saya ada waktu ngopi. Barangkali ia agak stres dengan perkuliahan. Selain kuliah di sebuah kampus yang terkenal dengan ketatnya studi, ia pun kurang piknik. Saya juga menduga, ia punya sebuah cerita yang perlu ia sampaikan.

Setelah berbasa-basi beberapa kalimat dan menertawai rambut baru saya, kami berkeliling di QVM sambil menunggu dua teman lain tiba. QVM yang mulai dibangun sejak 1878 ini adalah pasar seluas tujuh hektar. Kami masuk dari sisi samping yang dipenuhi pedagang kulit putih yang menawarkan aneka sosis, keju dan roti, dan berjalan ke kawasan pasar buah dan sayur yang didominasi oleh wajah Asia. Ucapan "maaf" seringkali terucap ketika kami tanpa sengaja menghalangi jalan orang lain. Ini adalah kebiasaan warga lokal yang mulai menjadi kebiasaan kami sebagai pendatang.

Sambil jalan, saya bertanya kepada Yu tentang Fadh, kekasihnya. Dia tersenyum. Fadh baru saja lulus di sebuah program beasiswa. Dia akan studi di Australia tahun depan. Kabar baiknya, Yu bilang, Desember ini mereka akan melangsungkan pernikahan. Insya Allah.

Saya sudah mengenal mereka sejak kuliah S1 dulu, sempat berinteraksi ketika kami berada dalam sebuah organisasi. Yu sendiri mulai akrab ketika kami satu pesawat dalam perjalanan menuju pembekalan beasiswa di Yogyakarta. Sementara saya dan Fadh mulai banyak bercakap sejak sama-sama mengikuti tes masuk di sebuah kampus di Bandung—ketika itu, saya belum beruntung.

Pembicaraan yang semakin menarik membuat kami merasa perlu mencari kopi, roti, dan tempat duduk yang nyaman. Kami pun mengantre kopi di sebuah kedai yang paling ramai di sana. Saya memesan cappucino dan Yu memilih latte. Selesai dengan kopi, mata kami mendadak lapar melihat panjangnya antrean di depan truk American Doughnut Kitchen. Kami memesan satu bungkus yang berisi lima donat. Mereka hanya punya satu menu hari itu: donat panas isi selai stroberi yang ditaburi gula bubuk. Simpel sekali, pikir saya. Terkadang ketika negara sudah terlampau maju, orang-orangnya mulai merindukan hal-hal yang sederhana.

Hira dan Zati juga telah tiba. Setelah menemani mereka mencari minuman, kami menemukan tempat duduk di bawah kanopi di tengah pasar. Matahari mulai meninggi. Alunan blues dari seorang pemusik jalanan yang murah senyum melaju bersama sepoi angin. Tepat di hadapan kami, anak-anak mengantre untuk naik ke rodeo banteng. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan sekitar 15 detik di atas punggung binatang mainan itu. Pemilik usaha mainan dan anak-anak sama-sama tertawa, walau barangkali dengan maksud yang berbeda.

Yu ingin bertukar pikiran tentang rencana pernikahannya. Dia memang belum bisa berbuat banyak selama di sini selain menghubungi keluarga di kampung dan berdoa semoga semuanya lancar. Sementara Fadh sendiri telah memutuskan jeda dari kuliahnya di Bandung dan fokus mengurus persiapan pernikahan.

Hira dan Zati baru saja menikah beberapa bulan yang lalu. Mereka adalah narasumber yang baik bagi Yu. Sementara saya, entah kenapa, kadang-kadang dilibatkan dalam diskusi seperti ini. Mungkin karena punya banyak pengalaman buruk untuk dibagi-bagi.

***

Pasangan ini berumur 24 tahun ketika mereka menikah. Mereka mengaku ini keputusan yang berani karena selain masih cukup muda, mereka menganggap diri belum stabil dalam hal apapun. Hira tertawa ketika mengingat ibunya berkata kepada Zati: "Tolong, jaga suamimu baik-baik." Sebagai laki-laki, dia memang merasa belum cukup dewasa dan terkadang masih berpikir untuk menikmati masa lajang dulu sebelum menikah. Namun, kenyataan bahwa sekarang dia telah memiliki istri membuatnya bersyukur. Ada kebahagiaan dan ketenangan tersendiri yang belum pernah ia rasakan.

Zati juga masih mengingat jelas bagaimana rusuh dan gaduhnya situasi menjelang pernikahan. Mereka saat itu hanya memiliki waktu satu minggu untuk mempersiapkan semuanya! Dia dan Hira lulus sebuah program beasiswa. Kampus dan tanggal masuk mereka juga sama. Waktu keberangkatan yang semakin dekat menjadi salah satu alasan mengapa mereka mempercepat pernikahan.

Pernikahan juga rumit karena bukan hanya tentang dua individu, tapi dua keluarga. "Rawan sekali ribut mengenai hal-hal sepele, seperti jenis suvenir atau bentuk pelaminan," kata Zati. Untuk hal ini ia menyarankan agar tetap tenang, jangan ingin menang sendiri atau memaksanakan kehendak. Bagaimana pun, pernikahan berarti "pernikahan", bukan  tentang hal-hal kecil yang sifatnya dekoratif atau hiasan.

Selain memberikan tekanan bagi calon pengantin, pernikahan juga menggoyang mental orang tua. Zati ingat sekali bagaimana ayahnya sempat silap mengingat nama abang iparnya. "Saat itu pernikahan kakak. Ayah sempat dua kali salah menyebut nama menantunya. Pertama, beliau menyebut nama sebuah kecamatan di Aceh Besar (karena memang mirip). Kedua, beliau tanpa sadar menyebut nama ayah si menantu ketika ijab." Walau momen tersebut memecahkan tawa hadirin, tapi dia tak ingin ayahnya mengulangi hal yang sama. Ia pun menulis besar-besar nama lengkap Hira di depan pintu kamar orang tuanya. "Alhamdulillah, proses ijab-kabul kami lancar."

Pernikahan juga rasanya seperti mimpi. Paling tidak begitulah yang Hira rasakan sesaat setelah ijab-kabul. Dia seakan belum percaya ia sudah sampai di tahap itu. Dia pun sempat bengong, melihat kiri-kanan, ketika staf KUA menyampaikan nasihat pernikahan. Sejenak pikirannya melayang entah ke mana sebelum deheman seorang tokoh masyarakat mengembalikannya ke alam nyata.

Setelah resmi menjadi suami-istri dan mulai menjalani kehidupan berumah tangga, banyak perubahan yang mereka rasakan. Salah satu di antaranya, mereka jadi mengenal satu sama lain secara lebih jelas. "Semuanya seperti tidak ada rahasia lagi. Kita menjadi apa adanya. Aku bahkan terkejut melihat istriku (dia memberi beberapa contoh). Ketika berpacaran dulu, aku tidak mengenalnya seperti itu," kata Hira. Hal yang senada juga diakui Zati. Realitas yang kemudian muncul tersebut bisa disukai atau justru sebaliknya. Yang paling penting menurut mereka adalah penerimaan bahwa mereka sama-sama manusia.

Pernikahan juga menuntut rasa pengertian yang hebat. Zati bertanggung jawab di dapur, tetapi ketika ia sedang sibuk mengerjakan tugas akhir, Hira dengan senang hati akan menggantikannya. Hira mengetahui pula jika Zati adalah orang yang pencemburu. Oleh karenanya dia akan sebisa mungkin menjaga perasaan istrinya itu. Menurut mereka, bagaimana pun masalah yang muncul di rumah tangga, jika kedua belah pihak bisa saling memahami, bersedia mengalah sesekali, dan menjaga kualitas komunikasi, insya Allah semuanya akan berakhir baik. Mereka juga menambahkan, di balik segala macam logika yang manusia produksi, ada hal-hal lain di luar itu yang terjadi, seperti bertambahnya rezeki, ketenangan hati, dan lain-lain. "Intinya, Allah pasti membantu," kata mereka kompak.

***

Setelah menuntaskan rindu kampung halaman dengan makan di Ayam Penyet Ria di kawasan Clarendon, kami memutuskan menghabiskan sore di pantai St Kilda, Port Phillip.

Kami masih di dalam tram ketika garis pantai mulai mengintip dari deretan perumahan. Aroma laut mulai tercium tipis. Senyum menyungging di bibir kami. Matahari sudah tidak panas lagi.

Berbeda dengan di Aceh, pantai di Australia berada dekat dengan kawasan perkotaan. Jika kita berdiri di pantai St Kilda, barisan gedung akan terlihat seperti memagarinya. Pantai ini sendiri terdiri dari kawasan berpasir sekitar 700 meter. Di tepinya, terdapat sebuah jembatan yang mengarah ke tumpukan bebatuan, di sela-selanya dapat ditemui beberapa ekor penguin yang sepertinya masih baru lahir. Jembatan ini juga memiliki cabang yang membawa pengunjung ke barisan yacht yang parkir rapi.

Pantai sedang ramai. Sebuah keluarga terlihat sedang mengambil foto bersama. Beberapa anak saling berteriak ketika menemukan pokemon. Seorang lelaki fokus membidik penguin di sela-sela batu dengan kameranya. Ada yang duduk saja termenung bersama anjing di tepi jembatan. Sementara beberapa pemancing sibuk berkonsentrasi dengan buruannya. Debur ombak dan camar yang berterbangan memunculkan rindu di hati saya untuk sejenak saja pulang. Suasananya mengingatkan saya akan kawasan Ulee Lheue. Bedanya di sini tidak ada yang menjual jagung bakar atau bakso goreng.

Ketika Hira dan Zati sedang ke toilet, saya dan Yu berjalan-jalan menyusuri jembatan tempat yacht bersandar.

"Selesai kuliah kamu mau ke mana?" Yu bertanya.

"Aku tidak tahu. Terlalu banyak kemungkinan," jawab saya.

Saya menjelaskan tentang rencana saya mencari posisi mengajar. Prioritasnya mencari kontrak jangka panjang di kampus kabupaten, seperti Gajah Putih (Gayo) atau Teuku Umar (Aceh Barat). Jika belum ada, saya berencana mengajar beberapa mata kuliah di UIN Ar-Raniry. Insya Allah. Yu sendiri memiliki rencana yang relatif sama. Selain kembali ke almamater kami, ia juga ingin melanjutkan mengajar sebagai tentor di sebuah bimbel.

Kami berdua tertawa ketika mengingat-ingat pengalaman mengajar dulu, sebelum berangkat kuliah. Menjadi dosen di Indonesia, apalagi jika bukan pegawai tetap, harus bertahan dengan kondisi yang tidak masuk akal. Gaji sedikit, cairnya entah kapan. Makanya kalau bicara pendapatan, masih lebih baik mengajar les saja, atau berbisnis jika bisa. Kami menyimpulkan menjadi akademisi, dengan sistem seperti saat ini, adalah pertarungan hebat antara idealisme dan realitas bertahan hidup.

Suhu turun. Angin mulai terasa dingin.

Yu secara pelan dan agak hati-hati bertanya, ada apa dengan saya. Lebih tepatnya, apa yang terjadi dengan hubungan saya dengan seseorang baru-baru ini. Yu mengetahui itu karena orang itu juga merupakan temannya.

Saya tidak pernah bercerita secara detail selama ini kepada siapapun. Saya hampir tidak punya orang yang bisa saya percayai. Selama ini, jika ada sesuatu, saya hanya menceritakannya kulitnya saja kepada orang yang bertanya. Sore itu saya bersyukur bisa menceritakan dengan lebih dalam kepada Yu. Saya sendiri tidak tahu apa dia orang yang bisa saya percayai. Namun paling tidak beban yang selama ini rasanya saya tanggung sendiri, mulai bisa saya urai sebagiannya. Sekalipun di ujung cerita dia berkata pelan, "Sepertinya itu salahmu." Saya mengangguk dan tidak membantah. Itu memang salah saya.

Saya juga berkata kepada Yu jika saat ini saya sedang capek dan agak muak dengan hubungan percintaan. Ada satu ruang di diri saya yang mual jika mendengar orang lain menggoda-goda saya dengan seseorang. Walau saya akui juga, ada sebuah ruang lain yang begitu memerlukan teman, sosok pendamping hidup. "Paling jauh, jikapun berhubungan dengan seseorang saat ini, cuma sampai batas 'teman baik' saja. Aku pusing dan sedang tidak stabil," kata saya. Saya juga merasa kehilangan rasa percaya diri karena gagal berkali-kali. Saya takut menyakiti orang lagi. Saya berharap bisa fokus berpikir ke arah sana setelah saya menyelesaikan kuliah. Mudah-mudahan juga "calon" tersebut bisa saya temukan dari sekarang. Jadi harapannya tidak memakan waktu lama lagi. Insya Allah. Mendengar itu, Yu hanya tersenyum.

***

Yu dan Fadh akan menikah di akhir Desember. Insya Allah. Kami bertanya apakah dia akan menyediakan tiket pulang kalau kami datang. Dengan wajah merengut, ia menggeleng. Belum nikah masak sudah diperas! Kami meledak dalam tawa.

Saya berdoa restu Allah Swt menyelimuti mereka. Desember biasanya musim hujan dan semoga rintik-rintik itu membawa kebahagiaan []

Sunday, September 25, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Leave a Reply