Archive for August 2016

Buku Puisi


Alhamdulillah saya telah mengumpulkan sebagian puisi (2012-2016) ke dalam sebuah buku. Silakan dibaca. Semoga bisa menjadi teman ngopi atau pengiring tidur.

Sila unduh melalui link berikut: buku puisi jilid I

Terima kasih.

Monday, August 29, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

22 Agustus 2016


Oh, sudah tanggal 22? Yang benar saja!?

Saya selalu mengulang decak kagum tentang betapa waktu begitu cepat berlalu. Seperti peluru saja. Akhir bulan ini, kuliah sampai di minggu keenam dari dua belas minggu untuk satu semester. Saya tidak berharap banyak kecuali satu hal saja: semoga studi kami berkah dan ilmunya bermanfaat untuk kehidupan. Insya Allah. Itu saja.

Kuliah, terlebih ketika biayanya ditanggung oleh negara, bukan lagi menjadi semata perjalanan pribadi. Ada tanggung jawab yang besar ketika belajar dan kewajiban yang lebih besar lagi ketika pulang. Belajar itu membuat stres, tak jarang menjengkelkan. Saya memahami kemudian pelampiasan orang berbeda-beda. Ada yang jalan-jalan, ber-selfie ria, olahraga, ikut kegiatan sukarela, nonton konser, belanja, tidur-tiduran di pustaka khusus fiksi dan masak sebanyak-banyaknya (saya), dan entah apa lagi. Kita manusia, mau bilang apa. Butuh rekreasi, teman bicara, dan kadang-kadang juga butuh sendiri saja. Menjadi penerima beasiswa itu menyenangkan, tapi semua tidak berhenti di situ.

Belum lagi pening yang datang jika berpikir pulang nanti mau mengabdi di mana. Sekarang tahun 2016 ketika sarjana, master, bahkan doktor berlimpah jumlahnya. Sesuatu yang sebenarnya bisa menjadi berkah jika kita tahu bagaimana cara mengorganisasinya. Nyatanya tetap saja pulang harus berebut lagi dengan teman-teman sendiri. Saya benci menggunakan kata "berebut", tapi begitulah barangkali kenyataannya. Secara ringkas saja, hampir 80% teman yang saya tanya (mereka belum memiliki kerja tetap di Indonesia) menyatakan diri ingin menjadi dosen. Ini masih yang berkuliah di satu negara. Lalu nilai saja sebanyak apa institusi pendidikan yang ada di negeri kita? Saya ingat, beberapa dosen di kampus saya dulu saja masih mengantre posisi mengajar. Maka tidak heran ketika liburan kuliah banyak teman yang bekerja. Kami mempersiapkan diri untuk sesuatu yang kami namakan "keguncangan finansial". Beberapa memprediksi, paling tidak beberapa bulan ada yang belum dapat pekerjaan ketika lulus nanti. Beberapa teman bahkan sudah menabung uang untuk membuka usaha kecil seperti rumah makan atau kedai kopi. Pada akhirnya kita tiba pada kenyataan bahwa semua orang butuh makan sambil berusaha tetap menjalankan kewajiban untuk mengabdi.

"Kal, kamu bisa masak. Kopi buatanmu enak. Mungkin kamu bisa membangun kedai sendiri di Indonesia nanti. Tentu sambil mengajar bakti di mana gitu. Jadi ya pendapatanmu dari kedai itu, bukan dari mengajar. Bayangkan kalau kamu cari uang dari jam ngajarmu yang tidak seberapa apalagi kamu bukan PNS! Pertama, kamu akan cenderung 'cari uang' bukan 'mengajar'. Kedua, bagaimana kamu membiayai keluargamu nanti?"

Teman saya menasihati seperti itu. Dia mahasiswa S3 dan dia bicara atas dasar pengalaman pribadi. Dulu, sepulang dari S2 di salah satu universitas luar negeri, dia tak punya banyak kesempatan mengabdi. Dia mengajar memang, tapi bukan dalam posisi yang permanen. Itu tidak cukup. Dia mesti menyambi bekerja di sawah, kebun pinang, membuka toko kelontong, dan kedai kopi kecil-kecilan. Di ujung ceritanya, dia mengaku sangat nyaman bekerja serabutan begitu.

"Saya lebih senang menghabiskan waktu di kebun ditemani kerbau daripada mesti menjilat-jilat untuk sebuah posisi mengajar di kampus."

Kampus sendiri sekarang tidak semata-mata jadi institusi pendidikan. Beberapa memiliki rantai politik bercabang dan lapis-lapis kekuasaan yang memuakkan. Untuk bekerja di sana bukan semata-mata dinilai dari prestasi akademik, tapi kedekatan hubungan. Oh Tuhan.

Ada saat ketika saya sudah terlalu pusing berpikir dan pasrah saja. Sepanjang tidak malas dan terus berusaha, insya Allah hal-hal seperti itu ada penyelesaiannya. Allah sudah mengatur rezeki, maut, dan jodoh kita. Pikiran seperti itu pada akhirnya selalu menenangkan bagi saya. Eh, tadi apakah saya bilang "jodoh"? Syukurlah.

Foto: Tim Gouw

Sunday, August 21, 2016 by Muhammad Haekal
5 comments

Tumbuh


tumbuhlah. jadi kamu
jangan sibuk menjadi orang lain
tidak perlu
hanya akan menyakitkanmu
menyiksamu. membunuhmu
perlahan.

Foto: Mike Burke

Saturday, August 20, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Aneh


Saya bingung melihat sebagian orang yang memiliki kesenangan untuk menjengkelkan orang lain, entah itu dengan lelucon berlebihan atau debat kusir yang hampir tak punya garis akhir. Ini aneh dan saya tidak mengerti. Pertama, sudah jelas hal itu membuat orang-orang yang berinteraksi dengannya tidak nyaman. Kedua, apa sih manfaatnya bagi dirinya sendiri kecuali 'kepuasan' yang ganjil itu?

Saya pikir kehidupan ini sudah cukup ruwet dan tidak perlu ditambah-tambah lagi dengan negativitas seperti itu. Lagipula, bukankah dunia menyediakan banyak sekali alasan untuk berbahagia (tanpa menyakiti hati orang lain)? Aduh. Bingung saya.

Friday, August 12, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Fokus


Sekarang kita punya banyak alasan untuk tidak fokus. Media sosial yang tak berhenti mengeluarkan notifikasi, grup-grup percakapan yang sebagian (atau mungkin semuanya) tidak terlalu kita butuhkan, dan kecentilan baru kita untuk memberitahu orang lain tentang apa yang kita lakukan atau rasakan. Gaya hidup seperti itu menjadikan kita terbiasa melakukan ragam aktivitas dalam satu kesempatan. Sayangnya tidak semua rangkaian multi-tasking itu benar-benar memberikan nilai dalam kehidupan kita. Hal-hal remeh berubah posisi menjadi pokok dan hal-hal lain yang masuk dalam kategori kewajiban justru kita tempatkan di prioritas waktu luang. Tentu konteksnya berbeda bagi sebagian orang. Mereka yang masuk dalam kategori hidup, mencari nafkah, atau basis kegiatan sehari-hari mereka ada di media sosial tentu tidak terkait dalam ceramah membosankan ini. Tulisan ini diperuntukkan untuk saya dan Anda yang sebenarnya memiliki pekerjaan lebih penting selain memelototi gawai.

Saya tidak tahu profesionalitas seperti apa atau kualitas pekerjaan bagaimana yang akan kita dapatkan dengan bekerja sambil, katakanlah, 'menganalisa' laman Facebook orang lain, atau membaca kisah pembunuhan yang melibatkan secangkir kopi. Saya sendiri percaya bahwa dalam hal-hal remeh saja, seperti buang air, seseorang perlu memfokuskan pikirannya, apalagi untuk hal-hal rumit lain yang memerlukan analisa dan konsentrasi tinggi. Bicara soal durasi kerja, kegiatan dengan model seperti itu biasanya akan melahirkan dua bentuk: waktu pengerjaan yang lebih lama; atau pengerjaan kewajiban pada waktu sisa. Tapi hasil kerjanya justru mirip: sama-sama tidak berkualitas. Mungkin sebagian dari Anda tidak setuju, namun begitulah yang selama ini saya perhatikan.

Fokus itu penting dan saya kira hukumnya sudah menjadi wajib. Setiap orang memang punya hak untuk hidup dengan caranya masing-masing. Tapi masak iya kita sanggup terus-terusan bertahan dengan hasil pekerjaan sendiri yang tidak becus. Masak gak malu protes dan pura-pura bingung kenapa negara orang maju dan negara sendiri setia sekali dengan status berkembangnya.

Capek ya tidak masalah. Toh setiap hari akan selalu ada senja yang mengantarkan kita pulang. Hari Sabtu dan Minggu juga belum dihapus dari kalender, kan?

*N.B: Jangan lupa ngopi agar tidak gila!
Foto: Dustin Lee

Thursday, August 11, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Sedikit tentang Proses Menuju Pernikahan



Proses menuju pernikahan itu aneh. Dan menurut saya, pernikahan seharusnya bebas dari generalisasi. Setiap orang memiliki pengalaman unik dan saya sendiri meyakini pernikahan adalah urusan langit.

Ada pasangan yang sudah lama berhubungan, tapi kandas. Namun ada juga yang berhasil. Ada yang baru sebentar kenalan lalu menikah, tapi ada pula yang merasa tidak cocok lalu memilih berpisah. Ada lelaki atau perempuan yang telah siap lahir-batin tapi tidak mendapatkan restu, namun ada pula mereka yang segalanya serba pas-pasan tapi diizinkan. Ada mereka yang mencari atau menunggu bertahun-tahun jodohnya tapi tak kunjung ada. Ada pula yang bahkan tidak berpikir untuk berumah tangga, tapi jodoh itu hadir tanpa disangka. Ada lagi mereka yang menempatkan pernikahan sebagai prioritas yang kesekian setelah karir, keluarga besarnya (misalnya ada yang berperan sebagai pencari nafkah utama di keluarganya), atau alasan-alasan pribadi lainnya.

Dalam hal ini, logika dan pertimbangan seseorang tentang pernikahan tidak sama dan tidak boleh disamakan. Pernikahan bagi sebagian orang adalah sederhana, sebagian lain menganggapnya rumit. Semua orang benar, paling tidak bagi dirinya sendiri. Saran saya, Anda tidak perlu repot-repot untuk mengurus persoalan pribadi orang ini, kecuali memang diminta. Dan jika memang berinisiatif untuk benar-benar membantu, lakukanlah dengan sopan dan pelan-pelan. Dorongan yang terlalu kuat hanya akan membuat orang terjerembab, bukan? Atau jika hanya berniat menjadikan kelajangan seseorangan sebagai bahan olokan....ah, serius cuma mau ejek-ejek doang? Tega benar Anda.


Wednesday, August 10, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments

Fleksibel


Kehidupan sekarang menuntut manusia memiliki fleksibelitas tinggi. Dunia berjalan cepat, orang-orang berubah, dan rencana kadangkala menjadi harapan yang tidak pernah terwujud.

Kita barangkali perlu berubah, jika itu memang diperlukan. Kita juga bisa melupakan (atau dalam kata yang lebih diplomatis disebut "merelakan"), jika itu membuat segalanya jauh lebih baik. Kita harus tetap berjalan karena berhenti dan merenungi nasib secara berlebihan hanya akan membuat kita tenggelam lebih dalam. "Ya sudahlah," kata Bondan.

Kita mungkin sudah sampai di pemahaman bahwa untuk melakukan transaksi pembelian, kita perlu uang. Hampir tidak ada yang gratis, bahkan kencing sekalipun. Tidak selamanya juga kita menjadi anak-anak yang setiap pagi menerima uang jajan. Uang, pemasukan, atau apapun namanya, perlu dipikirkan, sekalipun sebagian kita menempatkannya di lapis yang kesekian.

Kita bisa bercita-cita menjadi apapun, tapi sialnya kita tetap manusia yang butuh makan, ngopi, jalan-jalan, atau bagi yang berkeluarga bisa lebih rumit lagi. Lagi-lagi kita dihadapkan dengan bagaimana caranya kita bisa memenuhi kebutuhan mendasar itu. Kita boleh, katakanlah, menjadi dosen. Tapi ketika posisi itu, apalagi di negara kita, belum bisa memenuhi apa yang kita butuhkan, kita harus bisa membuka diri untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Berbisnis misalnya atau apapun itu sepanjang dibenarkan oleh hukum agama dan negara.

Syukurnya kita memiliki Tuhan yang menjamin setiap insan di bumi ini memiliki rezeki masing-masing. Namun, hal itu bukan berarti kita bisa duduk bermalas-malasan saja, kecuali kita dilahirkan sebagai orang bermukjizat tinggi yang dapat menghasilkan butiran-butiran emas dari keringatnya. Berusahalah dan jangan lesu begitu, apalagi buat kita yang masih lajang. "Sesungguhnya seorang jomblo yang malas hanya memiliki satu hak: untuk di-bully temannya atau melajang selama-lamanya." (Bukan Hadist).

Foto: Evan Clark

Tuesday, August 9, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments

Berbeda


Saya mulai menyadari bahwa setiap periode kehidupan memerlukan penanganan yang berbeda. Bertambahnya umur menjadikan beberapa hal berubah, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab.

Saya bukan orang yang cepat keluar dari rumah dan hidup di atas kaki sendiri. Lebih dari dua puluh tahun saya tinggal bersama orang tua. Dalam beberapa hal itu buruk. Saya memang bekerja, tapi saya tidak pernah merasa terancam dengan kebutuhan hidup. Semacam manja.

Dan kini, ketika kesempatan merantau datang lagi, saya bersyukur berada serumah dengan teman-teman yang menyadarkan saya bahwa hidup bukanlah orang tua pemurah yang senang hati saja memberikan uang jajan. Semua harus diusahakan. Di sisi lain, proses tersebut bukanlah garis yang lempang. Dunia juga terdiri dari sistem korup dan orang-orang curang. Kita dituntut menjadi baik hati namun tidak lugu.

***

Beberapa minggu atau barangkali bulan ini, keadaan saya sedang tidak karuan. Saya merasa gagal menjadi manusia. Banyak rencana besar yang buyar dan saya tidak selalu suka memulai segalanya dari awal. Saya negatif dan saya benci itu. Setelah menumpahkan banyak kesal dan serapah di buku atau media sosial, alhamdulillah semuanya sudah relatif membaik. Namun tetap saja semuanya memalukan.

Sembuh itu sederhana. Sekarang saya kembali ke awal. Membangun lagi keseharian dengan rantai aktivitas yang biasa saya lakukan dan tentunya tidak lupa ngopi: agar tidak gila!

Foto: Loic Djim

Monday, August 8, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments